Rabu, 23 Januari 2008

Ajengan Santun itu Telah Berpulang

KH. Moh. Ilyas Ruhiat, pengasuh pesantren Cipasung Tasikmalaya, telah berpulang ke haribaan Ilahi, Selasa, 18 Desember 2007, jam 16.00 WIB. Ajengan Ilyas, demikian ia dikenal luas oleh publik, lahir 31 Januari 1934, sama dengan tanggal lahir Nahdlatul Ulama (NU). Ajengan yang dikenal sangat santun itu sejak beberapa tahun terakhir memang didera sakit, terutama setelah tidak lagi aktif pada organisasi yang dicintainya, NU. Ada dua hal yang sangat dicintai Ajengan Ilyas, pesantren dan NU. Oleh karena itu, istrinya, almarhumah Dedeh Fuadah, sering berseloroh bahwa dirinya hanyalah istri yang ketiga. Secara kebetulan, PBNU pada 2008 akan menyelenggarakan HUT-nya dengan tidak mengikuti penanggalan Hijriyah, tetapi masehi, yakni 31 Januari. Jadi, pada HUT NU yang rencananya akan diadakan besar-besaran itu, Ajengan Ilyas akan berusia 74 tahun, dan NU 82 tahun.
Ajengan Ilyas adalah pejuang yang sederhana. Ia bukan orator yang bisa membakar massa di podium. Ia bukan pula penulis yang piawai merangkai bunga-bunga kata. Ia berbicara secara bersahaja. Ia pun menulis dengan kalimat sederhana. Ia adalah guru yang ingin agar murid-muridnya mudah menangkap apa yang diterangkannya. Dengan ketulusan dan kesederhanaan itulah dia berjuang. Sebagai pengamal tasawuf, beliau sudah mencapai tingkat yang paling sulit, yakni sanggup untuk tidak berburuk sangka kepada orang lain dan selalu mampu mengendalikan emosi.
Ketika ia tampil sebagai pelaksana Rais Aam PBNU 1992 dan kemudian Rais Aam (1994), semua pihak dapat menerimanya. Sekalipun bukan ulama yang paling “pandai” di NU, tetapi tidak ada alasan untuk menolaknya. Hal itu karena Ajengan Ilyas memiliki kesederhanaan dan ketulusan. Ketika NU bersemangat untuk kembali ke khittah 1926, ulama seperti Ajengan Ilyas tampil ke muka, karena khittah itu menitikberatkan pendidikan dan dakwah. Tetapi ketika NU kembali ke ‘ranah politik’, kiai seperti beliau pun surut dan terpinggirkan, digantikan tokoh lain yang lebih sesuai dengan arus yang menguat di NU. Begitulah pasang-surut NU yang diikuti pula oleh naik-turunnya peran Ajengan Ilyas. Yang pasti, ia bukan sosok yang gila jabatan. Umpamanya seusai kampanye Pemilu 1971 dan ia terpilih sebagai anggota DPRD Jabar dari Partai NU, ia malah memberikan kursi dewan itu dengan “cuma-cuma” kepada orang lain. Ia lebih memilih mengikuti saran ayahnya agar konsentrasi mengajar di pesantren. “Kalau semua ke politik, siapa yang mengurus pengajian?”Amanat itu ia pegang sampai akhir hayatnya. Ia tak pernah meninggalkan Cipasung, sesibuk apa pun kegiatannya di luar mengajar santri.

Aktivis Sejati
Selain di NU, ia juga pernah menjadi salah seorang ketua MUI Pusat dan anggota DPA. Sebelumnya ia menjadi anggota MPR sebagai utusan dari Jawa Barat. Dalam setiap acara yang diikutinya, Ajengan Ilyas selalu datang tepat waktu dan pulang setelah acara ditutup. Hanya di Muktamar Lirboyo (1999) Ajengan Ilyas tidak mengikuti kegiatan sampai selesai. Dan sejak itu beliau mulai sering sakit-sakitan.
Aktifitas Ajengan Ilyas di pesantren dimulai sejak usia 15 tahun. Saat itu ia harus menggantikan ayahnya yang dipenjara di Sukamiskin pada masa agresi Belanda II. Bersama kakak iparnya, Saeful Millah, Ilyas muda mulai mengajar santri. Sebelumnya ia belajar langsung kepada sang ayah. Dengan kegiatan mengajar ini, praktis kesempatan Ilyas untuk belajar keluar pesantren menjadi hilang. Sampai ayahnya wafat pada 1977, Ilyas hanya belajar di Cipasung. Kesempatan belajar di luar pesantren ia dapatkan melalui sejumlah kursus, kuliah jarak jauh, otodidak, dan mengikuti berbagai forum ilmiah.
Setelah menikah pada 1956, kehidupan Ilyas sepenuhnya dibaktikan untuk pesantren. Sementara di NU ia mulai aktif melalui Ikatan Pelajar NU (IPNU) pada 1954. Sekalipun hanya tinggal di Cipasung, jadwal kegiatan Ilyas sangat padat. Ia mulai mengajar bakda subuh, jam 05.00 - 06.30. Lalu mengajar di SMPI dan SMAI dari jam 07.00 – 13.00. Usai makan siang dan istirahat sebentar, jam 13.30 tukang becak langganannya sudah menanti di depan rumah. Ia mendatangi jamaah pengajian di beberapa kampung yang dilakoninya dari jam 14.00 – 16.00. Untuk kampung yang lebih jauh ia naik delman. Sepulang dari pengajian keliling, ia sudah ditunggu santri pengajian kitab Jauhar Maknun dan Uqudul Juman yang ia ampu sampai jam 17.30. Setelah magrib ia kembali mengajar kitab-kitab tafsir al- Jalalain, hadits Bukhari-Muslim, dan Fathul Mu’in. Pengajian malam baru berakhir pada jam 23.00. Tak jarang pada pengajian kitab yang terakhir, yang menyimaknya tinggal seorang santri, tetapi gairah Ilyas mengajar tidak turun sama sekali. Ia tetap mengajar dengan sungguh-sungguh dan telaten. Pada malam Kamis, jadwalnya bisa lebih larut lagi, karena ia selalu menunggu sampai bubar acara Kuliyyatul Muballigin wal Muasyawirin, satu program pelatihan berpidato bagi santri dengan tema-tema yang telah ditentukan, dan diskusi persoalan-persoalan hukum Islam.
Setelah mulai banyak keluar pesantren, untuk kegiatan NU atau MUI, kepadatan jadwalnya tidak berkurang hanya berganti acara saja. Namun, sesibuk apa pun, ia tak pernah meninggalkan pengajian untuk para ulama setiap hari Kamis. Kalau ada acara di luar kota yang cukup lama, ia akan pulang dulu ke Cipasung untuk memberikan pengajian Kemisan, lalu kembali lagi hingga acara tuntas. Ia memang seorang aktivis sejati.

Kiblat Pesantren
Bagi pesantren di Jawa Barat, Cipasung adalah salah satu kiblat pendidikan. Sejak didirikan pada 1931 oleh Ajengan Ruhiat, Cipasung secara tegas menggunakan sistem ngalogat Sunda. Pengajian untuk santri, baik dalam membacakan makna kata per kata dalam kitab berbahasa Arab maupun dalam penjelasannya, menggunakan bahasa Sunda. Pada saat itu, hampir semua pesantren di tatar Priangan menggunakan bahasa Jawa. Pola ini memperkuat rintisan yang sudah dimulai oleh Ajengan Sobandi Cilenga Singaparna. Di Cipasung, ngalogat Sunda itu kemudian menjadi ciri yang mandiri selain afiliasi kepada Nahdlatul Ulama (NU). Alumni Cipasung bisa dipastikan memiliki dua ciri itu: ngalogat Sunda dan NU. Maka, tidak mengherankan kalau Cipasung menjadi basis pendukung NU hingga sekarang. Memang, ada pula alumni Cipasung yang tidak berafilisasi ke NU, tetapi jumlahnya sangat sedikit.
Kemudian setelah proklamasi kemerdekaan RI, Cipasung menjadi perintis pendidikan formal. Mulai dari Sekolah Pendidikan Islam (1949) hingga Pendidikan Tinggi Islam (1965). Dan kini berkembang dari TK hingga perguruan tinggi dengan berbagai disiplin. Yang menarik, Ajengan Ilyas terlibat sebagai pendiri hampir dalam semua lembaga pendidikan formal itu. Padahal, ia hanya sekolah formal sampai kelas 3 HIS. Ia pernah lama menjadi kepala SMA, juga kepala MAN Cipasung. Sebelum sakit yang menghambatnya beraktifitas, ia adalah Rektor Institut Agama Islam Cipasung.
Ada satu hal yang unik dari keluarga Ajengan Ilyas, bahwa mereka adalah keluarga PNS. Diawali istrinya menjadi PNS Depag dengan NIP 150127551 yang ditempatkan di MI Cipasung sejak tahun 1968 dan pensiun1993 dengan golongan jabatan terakhir II/c. Lalu Ajengan Ilyas menjadi PNS sejak tahun 1972 dengan NIP 150170390 dan pensiun dengan golongan jabatan Penata Muda III/a tahun 1994. Neng Ida dan Enung keduanya juga PNS yang ditugaskan di MAN Cipasung. Sedangkan Acep Zamzam Noor menjadi Presiden PNS, tetapi bukan Pegawai Negeri Sipil, melainkan Partai Nurul Sembako, suatu gerakan massa yang banyak mengkritik perilaku para birokrat alias para PNS. Jadi lengkaplah kolaborasi PNS di keluarga Ajengan Ilyas, ada yang berusaha membuktikan bahwa PNS itu bisa bekerja dengan baik dan jujur, ada pula yang giat membongkar kebobrokan para PNS agar tidak berlaku koruptif dan manipulatif.
Ajengan Ilyas telah menunaikan tugasnya secar paripurna. Ia telah menjadi suami yang baik buat istrinya. Ia telah menjadi ayah teladan yang telah mendidik dan mengantarkan ketiga anaknya --Acep Zamzam Noor, Ida Nurhalida, Enung Nursaidah Rahayu-- hingga mandiri dan mengabdi di tengah masyarakat sesuai keahliannya. Ia pengasuh pesantren yang telah membawa Cipasung hingga dikenal masyarakat luas, di dalam dan luar negeri. Ia adalah Rais Aam NU yang berhasil menjaga “kapal” NU pada prahara politik sebelum reformasi, dan ikut mengantarkan putra terbaik NU sebagai presiden RI ke-4. Ia telah menjalankan tugas kemanusiaannya secara sempurna. Kini, nama baik Ajengan Ilyas akan dipertahankan oleh anak cucunya. Kebesaran pesantren Cipasung akan dijaga dan dikembangkan oleh keluarga Bani Ruhiat seluruhnya. Dan jejaknya pada NU mudah-mudahan akan diteruskan oleh para pengurus Ormas terbesar ini.
Selamat jalan, Ajengan, semoga kami dapat meneruskan perjuanganmu, dalam ketulusan dan kesederhanaan. (Iip)***

Versi ringkas dimuat Pikiran Rakyat, Rabu, 19 Desember 2007

Ajengan Ilyas Dipapag Katumbiri

Aya hiji hal anu tansah ngagetkeun dina kahirupan urang, nyaeta beja kapapatenan. Sanajan hiji jalmi kawartoskeun tos lami teu damang, tapi dina waktuna ngantunkeun mah, tetap bae sok mere epek kaget. Teu nyangka. Sok kantenan upama ieu jalmi teh hiji tokoh anu istimewa, guru umat anu sami-sami dipihormat. Kitu pisan anu karasa nalika urang nampa beja yen KH. Moh. Ilyas Ruhiat, sesepuh Pasantren Cipasung, pupus dina dinten Salasa, 18 Desember 2007.
Memang, beja yen Ajengan Ilyas teu damang teh tos kawartoskeun dina sababaraha taun katukang. Anjeunna mulai teu damangan teh ti taun 2002, sarengsena mantena pangsiun tina kalungguhan di DPA. Saur almarhumah garwana –Hj. Dedeh Fuadah— mah, “Apih mah teu damangna nyakali, panginten kumargi salami ieu kacapean teuing ngurus itu ieu kanggo kapentingan umat.”
Seueur inpormasi ngeunaan Ajengan Ilyas, kaelmuanana, dedikasina dina organisasi, kasabaranana dina ngatik ngadidik santri. Tapi anu sok jadi kacapangan balarea mah, anu diaku ku sasaha, anjeunna teh sok disarebut Ajengan Santun. Kitu na mah kumargi anjeunna tara katingal bendu salawasna, gaduh panyangki sae bae ka papada jalmi, tansah someah hade ka semah, nyarios dina basa lemes bae sanajan ka murangkalih, tara ngabeda-bedakaun semah, jst. Eta teh saurna upami dina amaliah tasawuf mah kalebet tingkatan anu pang luhurna, anu pang hesena. Salian ti Islami teh mantena estu nyunda pisan singketna mah, lamun urang mupakat yen nyunda teh kitu prak-prakanana.
Ajengan Ilyas teh hiji caroge anu satia ka istrina, lahir batin. Sapapait samamanis nepi ka pakotrek iteuk teh lain babasan, sanajan dugi ka waktos pupusna boh anjeunna boh garwana teu kantos ngangge iteuk. Upami angkat-angkatan boh di sabudeureun Indonesia boh ka luar nagri, tara hilap nyandak oleh-oleh kangge istrina. Saur anu sok nyarengan anjeunna, ajengan memang sok ngahususkeun waktu kannggo milari cacandakan. Malah oleh-oleh teh seseringna mah sok rata kabagi ka putra sareng incu.
Ku sababaraha ajengan, unggal nganjang ka Cipasung teh inyana sok dijurung-jurung supaya nyandung, tapi anjeunna narah bae. Malah ku garwana mah sok diheureuyan, “Apih, kumaha pangjurung para ajengan teh, bade diturut?” Waler Ajengan, “Ah, Apih mah narah, Mih.” Ku kituna mah pantes, kumargi sabada Ajengan Ilyas nikah ka Ibu Dedeh dina 16 Juli 1956, duanana disaur ku ramana, Abah Ruhiat, disarengan ku rakana H. Endang Hasan sareng bojona. “Maraneh mah teu meunang nyandung! Abah mah nyandung soteh keur kamajuan pasantren.”
Ajengan Ilyas memang hormat pisan ka ramana, kumargi disagedengan rama kapanan Abah teh guruna anu paling utama, da anjeunna mah teu kantos masantren salian ti di Cipasung. Eta bae dina Pemilu 1971, sabada kampanye ti Partai NU tur kapilih janten anggota DPRD Jabar, ku Abah teh disaur, “Ilyas, urang mah ngurus pasantren bae. Lamun kabeh ka politik mah saha atuh anu bakal ngurus pangajian?” Nya atuh hasil hese cape kukurilingan kampanye teh dipasihkeun kitu bae ka nu sanes, tanpa konpensasi naon-naon, istuning ihlas seja nurut kana kasauran sepuh sareng guruna. Berekah gening, da lamun harita mugen, keukeuh jadi anggota dewan mah, urang teh meureun maol wanoh ka anjeunna siga ayeuna.
Saparantos garwana ngantunkeun (19 Juni 2007), sok remen anjeunna kabungbulengan. Kanggo anjeunna mah garwana teh karaos aya keneh bae. Loba santri alumni anu silaturahmi ka anjeunna, samameh baralik teh sok dipiwarang wawartos heula ka garwana. “Wawartos heula ka Emih nya, bilih nyeuseul.” Nya atuh santri teh sok ngaharuleng heula bari ngajawab sumuhun teh. Antukna mah maranehna teh terus ka marakam bae da diamanatan kudu bebeja heula ka Emih. Aya oge kajadian anjeunna ngajakan ka santri anu sok ngarawatna, nyusul istrina. “Itu Emih tos naek beca, hayu urang nyusul Emih.”
Rebo, 3 Oktober 2007, Ajengan Ilyas dirawat di RSHS kumargi kaserang stroke anu katilu kalina. Rada lami dirawatna teh da teras aya komplikasi sababara panyawat. Kulawarga anu nungkulan oge lebaran teh di rumah sakit. Tah, dina dinten Ahad samemeh mantena dirawat, bet maksa hoyong pendak heula sareng ibuna, Hj. Aisyah Ruhiat anu dugi ka kiwari masih jumeneng. Ka santri anu sok ngurus sapopoe, Mahdi, anjeunna keukueuh hoyong dianteurkeun ka bumi ibu. Mahdi teh aslina mah ti Timor Leste. Kulantaran hayang babakti ka guru, sabada lulus sarjana IAIC jeung meunang gawe di hiji pausahaan anu mere gajih lumayan, manehna balik deui ka Cipasung, da teu tega ngantunkeun ajengan, cenah. Nya atuh ahirna mah ku Mahdi teh dijajap ngangge korsi roda. Sabada tepang, duanana teh siga anu jagjag bae, uplek sasauran. Di antara sasauranana teh kieu:
“Emih, abdi teh ayeuna mah tos teu gaduh garwa,”
“Nya ayeuna mah urang silih doakeun bae atuh, Ilyas,” waler ibuna bangun anu surti kana kasauran putrana.
Teras Ajengan Ilyas ngadua kangge ibuna. Nyakitu deui ibuna teras ngadua kangge putrana. Kanggo ajengan Ilyas memang aya “dua” Emih, ibuna sareng garwana. Ari ka garwana mah ngabasakeun kitu pedah barudak (Acep-Ida-Enung) sok nyarebut Emih, terus ka ibuna barudak nyebut Emih Kidul da bumina aya di palih kidul. Ti saprak kajantena harita mah ajengan teh teras teu damang bae dugi ka dirawat lami di RSHS. Wangsul ka Cipasung, teras dina Jumaah, 14 Desember 2007 karaos deui stroke-na. Teras nerekab kana ginjal, dugi ka pupusna dina dinten Salasa tabuh 04.15 WIB. Saur anu nyaksian mah ajengan teh mung dina satarikan napas dina ngaleupaskeun ruhna. Estu katingali gampil tur enteng. Panginten kituna mah anjeunna ngaraos teu aya bangbaluh sareng kaabot naon-naon deui kumargi tos pasrah ka Manten-Na. Pupusna ajengan teh jangkep genep sasih sabada garwana ngantunkeun. Bet sapertos Siti Fatimah anu kabungbulengan ku pupusna ramana, Kangjeng Rosul SAW. Genep sasih sabada ramana pupus, Fatimah oge teras nyusul mantena ka alam kalanggengan.
Tah, saberesna dipulasara teras bade dicandak ka masjid, ngadadak aya katumbiri di luhureun langit Cipasung. Teu jiga biasana da harita teh teu aya hujan. Nya atuh diparoto ku anu kaburu mah. Aya tilu menitna cenah eta katumbiri teh. Saur para sepuh mah kajadian kitu teh pernah aya oge waktu ajengan Cintawana, almarhum Ajengan Ishak Farid ngantunkeun. Sanaos benten yuswa, waktos jumenengna ieu dua ajengan teh memang nyobat tur silih pikahormat.
Naon hubunganana katumbiri jeung pupusna Ajengan Ilyas? Ieu kitu bukti cinta anu sajati teh? Boa-boa almarhumah garwana diiringkeun ku para widadari surga memang mapag Ajengan Ilyas. Wallahu a’lam. (Iip)***

Versi singkat dimuat Galura, Rabu, 26 Desember 2007

Selasa, 22 Januari 2008

Kiai Ilyas, Ajengan Sunda

CIRI apakah yang paling menonjol dari sosok almarhum K.H. Moh. Ilyas Ruhiat? Kesundaannya. Banyak koleganya dari kalangan ulama luar Jawa Barat, tanpa ragu menyebutnya ulama dari Sunda. Namun, ciri itu tak membuatnya kaku atau membatasi gerak.

Di tangannya, ciri kultural itu justru menjadi modal untuk "bersaing" di tengah pergaulan nasional mewakili komunitas pesantren. Pada diri Ajengan Ilyas, unsur Islam pesantren dan Sunda itu menyatu dalam sebuah praktik hidup yang dinamis.

Rapat akbar NU 2 Maret 1992 menjadi salah satu saksinya. Di tengah ratusan ribu nahdliyin, ia tampil berpidato sebagai pelaksana Rais Aam. Nada bicaranya datar dan kalimat-kalimatnya runtut. Ia jelaskan satu per satu kebijakan NU yang telah dihasilkan dalam Munas Lampung beberapa waktu sebelumnya. Ia bertutur dengan aksen Sunda yang kental di tengah acara Ikrar Kesetiaan NU terhadap NKRI itu. Ia berpidato tetap dengan gaya pengajian di tengah gegap gempita para orator kondang. Bagi dia, tak ada yang harus dibuang dari kesundaannya ketika ia tampil sebagai tokoh nasional. Ia justru bangga dengan ciri itu dan selalu membawakannya.

Sunda Cipasung

Sebagai anak ajengan di Tasikmalaya, ketika kecil ia dipanggil Endang Ilyas. Oleh neneknya dari ibu, Sarimaya, ia diberi nama Uyu dan dipanggil Jang Uyu. Nama ini muncul karena Ilyas sembuh dari sakit kencing batu melalui sebuah operasi pada 16 Oktober 1940. Uyu adalah kependekan dari uyuhan hirup (untung masih bisa hidup). Nuansa kesundaan itu terus menyertai pertumbuhannya karena ia tak berkesempatan belajar di luar Cipasung.

Salah satu kesempatan yang dilewatkanya adalah studi ke Al-Azhar Mesir pada 1956. Bersama Najib Wahab, putra K.H. Abdul Wahab Chasbullah, persiapan ke Mesir itu sebenarnya sudah matang. Namun, akhirnya rencana itu urung dijalani karena datang perintah dari sang ayah: menikah! Maka untuk memenuhi dahaga keilmuannya, ia mengikuti berbagai kursus tertulis, kuliah jarak jauh, dan membaca buku di luar kitab kuning. Ia juga langganan media internal NU dan koran Masyumi, Abadi.

Maka Ilyas pun seolah dikarantina di lingkungan Cipasung. Ia belajar Islam di pesantren ayahnya dan menyelami kebudayaan Sunda dari masyarakat sekitarnya. Apa jadinya? Ia tampil sebagai sosok santri yang nyunda. Sopan santun Sunda yang diselaminya mendapatkan legitimasi ajaran akhlak dari kitab-kitab kuning, terutama dari karya-karya Al-Ghazali yang dikajinya.

Kesundaan Ajengan Ilyas bisa dilihat pula dari penamaan ketiga anaknya. Si sulung, memang awalnya diberi nama Abdul Wahid Ramadhan karena lahir di bulan suci itu dan tafaul dengan nama ayah Gus Dur, Abdul Wachid Hasyim. Namun, ketika oleh seorang santri bernama Endang Amna diganti menjadi Acep Zamzam Noor, ia tidak menolak. Anak kedua diberi nama Eneng Ida Nurhalida, lalu si bungsu Enung Nursaidah Rahayu. Acep-Eneng-Enung, adalah nama-nama Sunda. Tak berlebihanlah kalau ia disebut sebagai Ajengan Sunda dan nyunda.

Ajengan dari Sunda sangat banyak, tetapi yang bisa nyunda, mungkin hanya beberapa saja. Lalu, apa kelebihan Ajengan Sunda yang satu ini? Puncak capaiannya adalah saat ia terpilih sebagai pejabat pelaksana Rais Aam PBNU di Lampung 1992.

Tak ada yang menduganya, tetapi tak ada yang menolaknya. Ketakterdugaan itu misalnya terbaca dari komentar Gus Dur saat tahu bahwa yang terpilih adalah Ajengan Cipasung. "Huaah, saya kaget. Saya sama sekali nggak ingat, karena peringkatnya kan di bawah …." Ajengan Ilyas memang berada pada urutan enam dalam jajaran Syuriyah PBNU saat itu. Ketika itu memang diperlukan seorang tokoh yang dapat diterima semua pihak, tidak punya lawan konflik yang laten, dan berkepribadian matang.

Saat muncul nama Ajengan Ilyas, memang tidak ada yang menduga, tetapi tak ada pula yang kecewa. Tidak ada yang merasa keberatan terhadap sosoknya karena tidak ada alasan yang kuat untuk menolaknya. Pemerintah tak ada masalah. Pihak-pihak yang bertikai di NU dari sisa-sisa perkubuan Situbondo-Cipete, bisa menerima.

Kalangan politik nasional juga senang karena menganggap NU "tidak akan macam-macam" di tangan Ajengan Cipasung itu. Ajengan Ilyas telah menjadi jalan tengah yang diterima semua pihak. Ia adalah pemimpin yang lahir saat umat membutuhkan. Ia menjadi the right man on the right place and the right time.

Boleh disebut, Ajengan Ilyas adalah ulama yang mengakar pada budaya dan masyarakat Sunda. Posisi demikian sangat membantunya dalam relasi dengan pemerintah, baik sebagai pengurus NU maupun selaku pengasuh pesantren. Sedikitnya ada dua peristiwa yang dapat menjadi contoh.

Pertama, ketika pemerintah ingin mengakomodasi Ajengan Ilyas dalam keanggotaan DPR/MPR RI setelah terpilih di Munas Lampung. Awalnya, ditawarkan keanggotaan atas nama NU yang diusung DPP Golkar. Dengan diplomatis ia menolak karena hal itu melanggar AD/ART NU. Lalu ditawarkan lagi keanggotaan sebagai utusan Jawa Barat dan bukan atas nama NU. Karena merasa tidak ada aturan NU yang melarang, tawaran terakhir ini diterima. Sementara wakil NU di DPR/MPR dari Golkar, diisi oleh Gus Dur.

Kedua, ketika konflik NU-Pemerintah menguat pascaMuktamar Cipasung 1994, ajengan Ilyas mencari cara agar konflik bisa segera diredam karena yang menderita adalah umat yang di bawah. Jauh sebelum konflik itu mereda dengan kehadiran Presiden Soeharto di Probolinggo pada 2 November 1996, Ilyas pribadi sudah bisa diterima Soeharto di Istana Negara. Bukan atas nama NU, melainkan "bersama rombongan ulama Jawa Barat".

Bukan berebut

Sebagai organisatoris, Ajengan Ilyas sadar betul pada keniscayaan persaingan. Ia tidak memungkiri itu. Prinsipnya, "Seorang bijaksana menuntut diri sendiri. Seorang rendah budi hanya menuntut orang lain. Seorang bijaksana mau berlomba, tetapi tidak mau berebut, mau berkumpul tetapi tidak mau berkomplot. Seorang bijaksana tidak memuji seseorang karena ucapannya dan tidak mengabaikan ucapan karena orangnya." Petuah itu diambilnya dari Lun Gi XV : 21-23 bagian Wi Ling Kong.

Kalau dalam Konbes Lampung ada kesan Ajengan Ilyas ketiban pulung, maka melalui Muktamar Cipasung, ia membuktikan kualitasnya sebagai organisatoris karier yang tidak takut bersaing. Ia mengungguli Kiai Sahal Mahfudh dengan perbandingan suara 205-101, sehingga secara aklamasi ia dinyatakan sebagai Rais Aam PBNU periode 1994-1999. Kedudukannya sebagai tuan rumah, kedekatannya dengan pemerintah, kemampuannya mengimbangi gerak langkah Gus Dur, menjadi nilai tambah di mata muktamirin. Ia tidak terjebak dalam perkubuan Gus Dur-Abu Hasan, dan bersikap sewajarnya terhadap semua orang. Baik orang-orang pro-Gus Dur maupun pro-Abu Hasan, sama-sama diterimanya dengan baik.

Kesiapan menerima risiko persaingan itu terlihat pula ketika menjelang Muktamar Cipasung, oleh sejumlah orang termasuk ibunya, ia disarankan agar mundur dari PBNU dan berkonsentrasi mengurusi pesantren. Kepada sang ibu, Ajengan Ilyas menjelaskan, "Emih, saya mah kalau memang dicalonkan juga bukan karena kehendak sendiri. Dulu juga di Lampung bukan kemauan saya, tetapi diminta oleh para ulama yang sangat saya hormati. Jadi Emih tidak perlu risau apakah saya dicalonkan lagi atau tidak. Kita kembalikan saja kepada forum muktamar dan para muktamirin sebab merekalah yang akan menentukan. Kita mah lebih baik berkonsentrasi sebagai tuan rumah yang baik saja."

Sebagai manusia biasa, tentu ia juga tak luput dari kritik dan ungkapan kekecewaan dari pihak lain. Untuk itu, ia selalu merujuk satu prinsip ushul fiqh, "Mencari keridaan semua orang adalah tujuan yang mustahil tercapai." Agar selalu ingat atas kritik yang masuk itu, setiap berita/dokumen kritik-protes itu disimpannya dengan baik. Sesekali ia menunjukkan surat kritik dari koleganya sesama PBNU kepada istrinya. "Mih, ini ada kritik buat Apih dari Kiai A," katanya tersenyum sambil meminta istrinya untuk ikut membaca. Tak ada nada resah, perasaan benci, atau sikap emosional kepada si pengirim surat.

Ajengan Sunda itu kini telah berpulang (18 Desember 2007), tetapi jejak dan jasanya akan selalu dikenang. Ia adalah tokoh yang sudah memberikan bukti bahwa ciri kesundaan itu adalah modal besar untuk tampil di pentas nasional. Tentu kesundaan di sini adalah yang bukan lips service atau basa-basi, melainkan yang dipraktikkan dalam kehidupan sehari-hari dan keluar dari kejernihan hati. (Iip)***

Sumber:

Khazanah Pikiran Rakyat, 22 Desember 2007

Membaca Ajengan Ilyas Ruhiat

SETIAP Nahdlatul Ulama (NU) merayakan hari lahirnya, K.H. Moh. Ilyas Ruhiat, pengasuh pesantren Cipasung, juga memperingati ulang tahunnya. Keduanya memang lahir -- menurut hitungan masehi -- pada tanggal dan bulan yang sama. NU lahir 31 Januari 1926 dan Ajengan Ilyas lahir 31 Januari 1934.

Dalam 80 tahun sejarah perjalanan NU, ada 7 ulama pilihan yang pernah menjabat rais akbar dan rais aam syuriyah PBNU. Salah satunya ialah Ajengan Ilyas Ruhiat, seorang organisatoris karier, yang mengawali aktivitas ke-NU-annya sebagai Ketua IPNU Tasikmalaya pada tahun 1954. Tahun 1981, K.H. Prof. Anwar Musaddad gagal menjadi rais aam karena dianggap tidak memimpin sebuah pesantren. Tahun 1992, K.H. Prof. Ali Yafie juga gagal karena alasan yang sama. Sempat muncul dugaan keduanya tidak bisa menjadi rais aam karena bukan dari suku Jawa. Dugaan itu tak terbukti ketika Konferensi Besar NU di Lampung 1992, menetapkan Ajengan Ilyas sebagai pejabat pelaksana rais aam, melalui suatu proses yang dramatik. Saat itu, ia bukan pilihan Gus Dur, yang menjadi tokoh utama dan paling berpengaruh di NU. Gus Dur bahkan tak ingat nama Ajengan Ilyas karena urutannya ada di bawah (Tempo, 1992). Gus Dur lebih menjagokan K.H. Dr. M.A. Sahal Mahfudh, pengasuh pesantren Maslakul Huda, sebagai upaya membendung laju K.H. Yusuf Hasyim, pemimpin pesantren Tebuireng.

Prestasi bersejarah Prestasi Ajengan Ilyas di NU, sangat bersejarah. Dialah rais aam yang mengantarkan seorang warga NU menjadi Presiden RI. Ia husnul khatimah dalam kepemimpinannya. Pada waktu sang Presiden "diturunkan", Ajengan Ilyas sudah "pensiun" dari NU. Setelah terpilih sebagai rais aam melalui Muktamar Cipasung 1994, dengan caranya yang luwes, ia berhasil menjaga komunikasi dan keseimbangan NU dalam relasi dengan pemerintah. Di sisi lain, pada saat yang sama komunikasi Gus Dur dengan pemerintah "disumbat" dengan berbagai rekayasa.

Saat K.H. Hasan Basri wafat, ketua umum MUI sesuai urut kacang jatuh ke tangannya, tetapi ia menolak dan mendukung Kiai Ali Yafie. Menurutnya, ia sudah tua serta tak mungkin meninggalkan Cipasung. Kiai Ali dinilainya lebih senior dan tinggal di Jakarta. Kalau di Konbes Lampung Ajengan Ilyas seolah "merebut" jatah Kyai Ali Yafie, maka tujuh tahun berselang, ia "membalasnya" dengan memberikan jatah Ketua Umum MUI Pusat kepada ulama asal Pare Pare itu.

Ia bukan tokoh penurut dan gampangan, melainkan sangat memegang teguh prinsip. Tahun 1992, ia menolak pengangkatan sebagai anggota MPR dari Golkar, karena menurutnya melanggar khittah NU 1926. Ia baru menerima tawaran itu ketika diatasnamakan utusan daerah Jabar. Ia bisa tegas menolak berbagai rekayasa politik, seperti tak mau hadir ke ruangan ketika seorang capres yang sangat dikenalnya sedang kampanye di lingkungan Cipasung. Ia hanya mau menerima para capres itu di rumahnya sebagai tamu biasa. Semua tamu diterimanya dengan ramah sebab ia tak pernah membeda-bedakan tamu apapun kedudukannya.

Hal lain yang tak dapat dimungkiri, ia tidak pernah memanfaatkan organisasi atau nama orang lain untuk mencari keuntungan pribadi, termasuk saat tokoh NU jadi Presiden. Bahwa namanya sendiri banyak dimanfaatkan orang tak bertanggung jawab, tentu tak selalu bisa dicegahnya. Apalagi rekayasa atas dirinya dilakukan dengan segala cara. Akan tetapi, ia percaya masyarakat bisa membedakan mana pernyataan dirinya dan mana yang direkayasa seolah-olah dibuat olehnya. Ia menyadari belaka keterbatasannya.

Ajengan Ilyas hadir di panggung nasional dengan kejujuran, ketulusan, dan kesederhanaan. Ia membuktikan sikap jujur dan sederhana bukanlah penghalang untuk diakui orang lain, melainkan sebagai kekuatan dan modal utama. Ajengan Ilyas juga mempraktikkan pluralisme secara paripurna. Selain bersikap baik kepada non-Muslim, ia tak pernah bermasalah dengan sesama Muslim yang berbeda mazhab. Ia tetap aktif di MUI sekalipun dikecam kawan-kawan sendiri. Ajengan Ilyas membuktikan bahwa di MUI, ia tidak kehilangan sikap independen. Dalam kasus Darul Arqom umpamanya, ia kukuh memberikan dissenting opinion bahwa ormas itu tidak melanggar akidah, sementara MUI secara resmi memutuskannya sebagai aliran sesat.

Ada kesan Ajengan Ilyas kurang tegas dalam kepemimpinannya, baik di NU maupun di pesantren, dan dikendalikan partner organisasinya. Bagi Ajengan Ilyas, berorganisasi ialah proses menempa kedewasaan diri. Ketika hal itu tidak tampak dari partnernya dalam organisasi, ia memilih mengalah dan bersabar menunggu tibanya kedewasaan itu, dengan risiko dianggap tidak tegas. Tanpa kedewasaan, sulit mencapai musyawarah yang di dalamnya meniscayakan take and give. Padahal, musyawarah itulah inti berorganisasi yang sehat. Tanpa kedewasaan, yang terjadi hanyalah pemaksaan kehendak dan kepentingan sepihak.

Ajengan Ilyas merasa tak pernah meminta-minta jabatan dan kedudukan, karena itu ia bersikap nothing to lose ketika ada yang coba menggerogoti kepemimpinannya. Prinsipnya, memenuhi kepuasan semua orang adalah hal mustahil.

Kita sangat berharap agar keluarga besar Cipasung tidak menyia-nyiakan salah satu aset terpentingnya saat ini, yakni sosok Ajengan Ilyas, tapi dapat menjaga dan mendukungnya secara penuh. Berkat kegigihan dan keuletannya, nama Cipasung diperhitungkan di tingkat nasional dan internasional, sehingga banyak sarjana tertarik untuk meneliti, seperti yang mutakhir dilakukan oleh Scott Allen Buresh dari Amerika Serikat. Scott menulis disertasi Pesantren-Based Development: Islam, Education, and Economic Development in Indonesia, yang diujikan tahun 2002 di University of Virginia. Sebagai warga Jawa Barat, kita bangga mengenal dan memiliki sosok Ajengan Ilyas.
Sumber:
www.pikiran-rakyat.com/cetak/2006/012006/30/teropong/lainnya6.htm

Minggu, 20 Januari 2008

Mengapa Aksara Pegon Ditelantarkan

TULISAN A. Chaedar Alwasilah (ACA), "Meluruskan Politik Bahasa Ibu", Jumat (21/2/2003), menarik untuk ditindaklanjuti. Dalam salah satu paragraf artikelnya, ACA menulis, "Dalam pada itu peran literasi bahasa Arab seperti dinafikkan begitu saja. Banyak orang tua di Indonesia yang buta huruf Latin, tetapi mampu membaca dan menulis dalam huruf Arab. Huruf Arab Melayu telah berjasa sebagai medium dalam mendidik bangsa ini. Para orang tua berkomunikasi dalam BD dengan huruf tersebut. Sayangnya, sistem pendidikan sekarang ini tidak lagi melihatnya sebagai alat untuk mencerdaskan bangsa, padahal di Malaysia aksara ini masih dilestarikan. Bahkan, mereka menyebutnya sebagai huruf Arab Jawi."

Penafian itu hampir sempurna ketika dalam projek History of Translation in Indonesia and Malaya yang diselenggarakan atas kerjasama Ecole Francaise d'Extreme-Orient (EFEO) dan Archipel 2000 - 2004, tak menyinggung sejarah terjemahan bahasa Arab ke bahasa Sunda. Projek ini dipimpin oleh Henri Chambert-Loir (HCL) dari EFEO dan Monique Zaini-Lajoubert dari Centre National de la Recherche Scientifique. Projek ini diawali sebuah workshop di Paris Prancis, 2-5 April 2002. Dua tokoh Sunda yang diundang menghadiri workshop yakni Ajip Rosidi (AR) dan Yus Rusyana (YR). AR yang mewakili University of Osaka Japan, memaparkan "My experience as a translator, from Sundanese and Japanese into Indonesian". Artikel ini dimuat di harian ini, 13-14 Juni 2002 dengan judul "Beberapa Catatan tentang Pengalaman Menerjemahkan". Sementara YR dari UPI Bandung menyampaikan makalah, "Translations in the Sundanese language".

Beruntung, berkat jasa baik Dr. Asvi Warman Adam, penulis dikenalkan kepada HCL melalui e-mail. Rupanya, dari sekira 30 pakar yang diundang, belum ada yang mengangkat sejarah terjemahan Arab-Sunda. Oleh karena itu, artikel penulis berjudul, "Ngalogat di Pesantren Sunda: Menghadirkan yang Dimangkirkan", dapat diikutsertakan dalam projek tersebut. Rencananya, edisi Inggris hasil workshop itu terbit tahun 2003 dan edisi Indonesia tahun 2004. Sekalipun tidak berkesempatan mengikuti workshop, penulis cukup reueus, dapat mengabadikan sejarah terjemahan Arab-Sunda melalui projek tersebut.

Tulisan yang bersumber dari riset awal itu memang masih harus disempurnakan. Namun, setidaknya, sebagaimana dikomentari Henri dalam e-mail-nya, "Laporan itu sangat menarik sebagai pengantar masalah asal-usul dan perkembangan ngalogat serta fungsi dan maknanya dalam konteks kebudayaan Sunda." Dalam kesempatan lain ia berkomentar, "Saya senang membacanya dan saya yakin artikel itu akan merupakan sumbangan yang berharga untuk buku tentang sejarah terjemahan di Indonesia."

Bukan mencari kambing hitam

Pernyataan ACA di atas memang benar. Penafian itu seolah tidak disadari orang Sunda yang -- konon -- sangat islami itu. Dari situlah saya menangkap adanya ambiguitas orang Sunda. Misalnya dalam dunia sastra. Ketika kagum kepada karya Muhammad Moesa dan Hasan Mustapa, kita seolah lupa bahwa keduanya menulis dalam aksara pegon. Kita lupa pula bahwa keduanya adalah ajengan yang pernah belajar di pesantren. Institusi pendidikan yang hingga saat ini masih menjadikan aksara pegon sebagai sarana komunikasi. Atau saat marak tuntutan pemberlakuan syariat Islam, persoalan ini sama sekali tidak pernah disinggung.

Atau tengok saja klaim-klaim kesenyawaan Sunda-Islam yang dilontarkan sejarawan/budaywan Sunda. Seperti Ahmad Mansur Suryanegara (AMS) yang sampai pada kesimpulan "puncak" bahwa kata Sunda berasal dari bahasa Arab sanada yang berarti mendaki atau naik. Sunda adalah gabungan huruf sin-nun-dal. Argumennya, pelaut Arab ketika mendekati laut Sunda, serasa mendaki/naik gunung-gunung. Ini berkait dengan dugaan kontak dagang Arab-Sunda yang sudah dimulai sejak sebelum abad I Masehi. Sejauh ini tak ada yang membantah penjelasan AMS itu. Sedemikian yakin AMS dan para pembela Sunda-Islam lainnya akan kebenaran kesenyawaan itu. Namun, pengabaian akan aksara pegon adalah kebenaran yang tak terbatah pula bahwa orang Sunda susungguhnya "alergi" pada yang berbau Arab, yang tak bisa dipisahkan dari pertumbuhan Islam itu.

Kemudian soal masih berlakunya Arab Jawi di Malaysia, dapat menjadi perbandingan menarik. Produk Malaysia berupa kamus Al-Marbawi, hingga kini masih digunakan kalangan pesantren. Kamus Arab-Melayu karya Syekh Al-Marbawi ini menggunakan aksara Arab Jawi. Hingga akhir 1980-an, mayo­ritas pesantren masih menggunakannya di samping Al-Munjid karya Louis Ma'luf. Baru setelah terbit kamus Al-Munawwir karya Warson Munawwir, popularitas Al-Marbawi mulai menurun. Malaysia, dalam berbagai segi memiliki keunggulan dari Indonesia. Pendidikan, ekonomi, termasuk penghargaan negara yang baik kepada para budayawan. Dengan kemajuan tersebut, Negeri Jiran itu toh masih memberi tempat untuk Arab Jawi. Sementara Indonesia, khususnya komunitas Sunda, seolah alergi pada aksara yang disebut ACA identik dengan Islam itu.

Di Tahun Kambing emas ini, katanya, haruslah semakin bersatu menata langkah. Siapa keluar dari lingkaran, ia akan diterkam serigala sendirian. Maka, dalam hal terpinggirnya aksara pegon, tidak perlu dicari-cari biang keladinya, untuk sekadar menumpahkan penyesalan. Tanpa harus malu mengakui, dunia budaya Sunda -- khususnya bahasa -- memang masih dalam pengaruh kebijakan kolonial. Tidak semua pengaruh itu negatif, tetapi tidak seluruhnya juga adiluhung. Harus ada keberanian radikal untuk melakukan koreksi ke dalam, mengkaji kembali kebijakan budaya (bahasa) Sunda itu. Selama masih ada komunitas terpinggirkan, berarti orang Sunda tak pernah serius menginginkan kebangkitan kebudayaannya. Jika aksara Sunda yang sudah mati saja bisa dihidupkan kembali dengan Perda Nomor 5 Tahun 2003, hal yang sama harusnya bisa dilakukan pada aksara pegon yang masih tumbuh dan berlaku. Jumlah pesantren dan santri di Tatar Sunda ini terlalu mahal untuk diabaikan. Sudah tiba saatnya elemen Sunda yang terpinggirkan dari wacana budaya Sunda itu dihiap-hiap kembali. Bukan dengan dasar kasihan, tetapi pengakuan atas keberadaan dan potensinya. Pengakuan kembali terhadap aksara pegon ini akan menjadi test-case, ujian kesungguh-sungguhan kita membangun budaya Sunda.

Arab identik dengan Islam?

Bahwa Arab identik dengan Islam, tentu tak bisa dimungkiri, sebagaimana Eropa identik dengan Katolik atau India dengan Hindu. Ada satu hal yang perlu ditegaskan di sini, bahwa kearaban yang berlaku di kalangan pesantren salafiyah (baca: tradisional) Sunda, bukanlah Arab dalam pengertian sebenarnya. Kearaban itu sudah mengalami Sundanisasi sedemikian rupa sehingga tak bisa dilepaskan dari kebudayaan Sunda itu sendiri. Realitas seperti ini terjadi di semua wilayah di mana Islam tesebar. Ringkasnya, Arab orang Sunda itu tak lagi dikenali (paling tidak bukan lagi mainstream) bagi orang Arab saat ini. Kearaban itu sudah tidak lagi menyimpan roh Arab, tetapi sudah berubah nyunda. Tiadanya roh Arab itu bisa dilihat dari cara pengucapan (logat, lentong) orang Sunda. Ketika seorang nenek kaget dan spontan ia mengucap innalillahi atau lailahaillallah, sama sekali tidak bermaksud sok Arab. Ungkapan itu sudah bersenyawa dalam kesundaannya.

Atau ajaklah seorang santri berdebat soal pembacaan sebuah kalimat berbahasa Arab. Dengan fasih ia akan mengupasnya panjang lebar, memakai argumen yang hampir seluruhnya berbahasa Sunda(!). Lalu ajaklah ia berbicara dengan bahasa Arab kontemporer, boleh dibuktikan, pembicaraan akan tersendat-sendat. Unsur Arab dalam keberislaman orang Sunda adalah pengaruh tak terhindarkan sebagai konsekuensinya berislam. Tak berbeda dengan orang Sunda "modern" saat menyelipkan kosa-kata Inggris dalam ucapan/tulisannya. Kalau didengar/baca orang Inggris asli, tak jarang membuatnya pusing memahami.

Berbeda halnya dengan tuntutan mode pakaian atau tata rambut/jenggot yang memang diniatkan meniru orang Arab. Fenomena inilah yang mengkhawatirkan akhir-akhir ini, yang menjadi ikutan dari arus tuntutan pemberlakuan syariat Islam. Tak perlu diperdebatkan, toh di situlah inti pemahamannya tentang Islam. Islam kaffah dipahami sampai dengan meniru kearabannya pembawa ajaran islam, bukan menyadari kompleksitas dan universalitas Islam dalam memandang kehidupan.

Jadi, tidaklah perlu dikhawatirkan pengaruh Arab kepada orang Sunda akan menghambat kebudayaan Sunda. Jumlah orang Sunda yang seperti si nini dan santri dalam ilustrasi di atas adalah mayoritas Sunda-Muslim. Sementara kelompok yang menuntut berislam harus dengan berbaju gamis serta berjenggot, jumlahnya minoritas. Dengan kearabannya itu, komunitas pesantren justru akan menjadi benteng terakhir pelestarian bahasa Sunda melalui tradisi ngalogat-nya.

Marilah kita tempatkan sejarah penyerangan Banten ke Pajajaran atau Mataram ke Sunda sebagai masalah politik. Jangan sampai kasus tersebut terus menerus mengungkung kita untuk mengekspresikan kesundaan secara lepas sehingga menghambat proses orang Sunda menemukan identitas mutakhirnya, post-Pajajaran-Demak-Mataram-Belanda-Jepang-Jakarta. Sudah saatnya kita mampu bersunda tanpa terbebani warisan dendam sejarah. Rentetan kekalahan Sunda (politik) itu biarlah menjadi cermin, tempat kita berkaca bagaimana memulai langkah kembali. Menjadi muara otokritik dan sumber spirit. Bukan keranjang apologi yang didasari semangat inferioritas.

Dari mana memulai

Apakah perlu menyelenggarakan kongres atau konferensi untuk memberlakukan kembali aksara pegon? Saya kira tidak. Dana besar untuk penyelenggaraan acara seremonial seperti itu akan lebih efektif digunakan "di lapangan". Dengan jabatannya saat ini, ACA bisa mengawali langkah konkret. Misalnya lewat penugasan mahasiswa untuk melakukan transliterasi, lomba mengarang sastra menggunakan aksara pegon, dan tentu saja mengajarkan kembali cara penulisan dan pembacaannya. Setidaknya, dengan upaya ini, kesalahan-kesalahan transliterasi pada naskah-naskah Hasan Mustapa bisa diperbaiki, terutama pada bagian yang mengutip ayat Alquran dan hadis nabi.

Kalangan media massa juga bisa memulainya. Yang paling mungkin mengawali kerja ini menurut penulis adalah majalah Mangle. Dengan menyediakan satu-dua halaman untuk aksara pegon, tidak akan mengurangi bobot -- satu-satunya -- majalah berbahasa Sunda ini. Justru dengan kebijakan ini, Mangle bisa merambah pasar baru, komunitas pesantren. Sekadar mengingatkan, data tahun 2001 mencatat bahwa di Tatar Sunda terdapat 2.969 pesantren salafiyah dengan jumlah santri mencapai 1.414.180.

Mestinya, kita juga berharap banyak kepada perguruan tinggi seperti IAIN dan Unpas. IAIN Bandung memiliki mahasiswa yang mayoritas berasal dari pesantren, dosen, dan stafnya juga sebagian besar alumni pesantren. Unpas -- konon -- memiliki jargon ngamumule budaya Sunda jeung syiar Islam. Kurang apalagi untuk mendukung pengakuan kembali aksara pegon?

Mugia pareng. (Iip)***

Sumber:

www.pikiran-rakyat.com/cetak/0203/27/0802.htm

Jumat, 18 Januari 2008

Keunikan Orang Sunda

ORANG Sunda itu unik. Mereka menerima pluralitas dan sangat terbuka. Orang Sunda termasuk masyarakat yang selalu siap menerima perubahan konstruktif. Jika demi kemajuan, tanpa ragu mereka akan melaksanakannya dengan disiplin. Ketika pemerintah Hindia Belanda pada pertengahan abad XIX menetapkan aksara Walanda (Latin) sebagai pengganti huruf Arab, masyarakat menerimanya tanpa protes yang berarti (Mikihiro Moriyama, 2005).

Dengan aksara itulah orang Sunda sekarang mengekspresikan olah pikirnya. Di luar itu komunitas pesantren sampai kini tetap mempertahankan huruf Arab dalam tradisi ngalogat-nya. Sementara upaya menghidupkan kembali aksara kaganga yang dianggap sebagai asli Sunda, melalui perangkat Perda Pemda Jabar, hingga kini justru belum menampakkan hasil memuaskan.

Di masa revolusi, ketika orang Sunda bersepakat untuk mendukung kemerdekaan, mereka paling depan membela nasionalisme Indonesia. Di bawah panji Siliwangi, mereka membakar Kota Bandung dan hijrah ke Yogyakarta, demi mempertahankan harga diri dan eksistensi negara baru Indonesia. Mereka lalu menghentikan upaya kudeta Muso di Madiun dan menaklukkan kegigihan Kahar Muzakkar di Sulawesi Selatan.

Ketika Kartosuwiryo mengobarkan perlawanan kepada NKRI, tanpa mendatangkan pasukan bantuan dari luar territorialnya, dengan pagar betis masyarakat, perlawanan DI/TII dapat dipatahkan. Tahun 1955, ketika kondisi masih sangat memprihatinkan, warga Bandung sukses menjadi tuan rumah Konferensi Asia Afrika. Itulah sebagian bukti kemampuan untuk berdisiplinan, kegigihan berjuang, dan kepercayaan diri yang sangat kuat dari masyarakat Sunda.

Pada era Orde Lama, orang Sunda banyak yang mendukung PNI. Ketika Orde Baru mereka banyak yang mendukung Golkar bahkan hingga sekarang. Saat reformasi bergulir, wacana partai lokal yang digagas akan dan bisa lebih nyunda, ternyata tinggal sekadar wacana. Jika dilihat dari fenomena partai politik itu, orang Sunda jelas-jelas selalu menolak hal-hal yang bersifat eksklusif.

Satu hal yang menarik dicatat, masyarakat Sunda ternyata tidak begitu memasalahkan dari mana asal pemimpinnya. Mereka menerima Dewawarman yang datang dari India sebagai raja pertama Salakanagara hingga Soekarno sebagai Presiden Indonesia pertama yang kelahiran Blora. Pituin atau bukan pituin Sunda. Asli atau pendatang.

Siapa pun, asal mengerti isi hati dan harapan massa Sunda, ia akan diterima. Nasution atau Kawilarang bisa memimpin Divisi Siliwangi. Soekarno bisa diterima massa 'marhaen'. Kartosuwiryo dapat memukau massa 'Islam'. Begitu pula Daeng Kanduruan Ardiwinata bisa menjadi Hoofd Bestuur Paguyuban Pasundan yang pertama. Soeharto, Habibie, Gus Dur, Megawati, dan SBY, masing-masing punya massa fanatiknya di kalangan orang Sunda.

Jadi bukanlah sesuatu yang aneh jika anggota DPRD Jawa Barat berasal dari berbagai etnik, sebab mereka pada realitasnya dianggap lebih mewakili isi hati dan harapan orang Sunda. Lalu mengapa yang terpilih bukan orang Sunda 'asli'? Kalau mau jujur melihat hasil Pemilu, tentu karena yang "asli" itu dianggap tidak atau kurang mewakili isi hati dan harapan orang Sunda sendiri. Siapapun, asal setia pada kepentingan massa Sunda, mereka akan berdisiplin mendukung kepemimpinannya.

Dalam dunia intelektual dan akademik juga berlaku hal seperti itu. Rektor perguruan tinggi di Bandung bisa datang dari etnik mana saja asal mumpuni dan diterima civitas academic-nya. Orang seperti almarhum Doddy Tisna Amidjaja saat menjadi Rektor ITB, pertama-tama karena ia mumpuni. Bahwa ia tokoh Sunda, hal itu menjadi nilai lebihnya. Buktinya, sebagai tanda cintanya kepada Sunda, ia mewakafkan warisan intelektualnya sebagai perpustakaan, salah satu di antara sedikit perpustakaan mengenai kesundaan di Bandung.

Sekarang setelah dunia ilmu sejarah Sunda kehilangan pakar sekelas Edi S. Ekadjati, banyak yang berpaling kepada Mikihiro Moriyama, intelektual dari Jepang. Sampai saat ini, sudah ada dua jurnal ilmiah dari dua perguruan tinggi ternama di Bandung, meminta Moriyama untuk menggantikan posisi almarhum Ekadjati sebagai redaktur ahli. Dan permintaan yang sejenis masih mengantre menunggu persetujuan. Bagi yang mengenal Moriyama, tak syak lagi akan menyebutnya sebagai orang yang sangat nyunda.

Maka kecintaan kepada Sunda itu bisa datang dari mana saja dan tidak mungkin dibendung. Begitu pula kemampuan untuk membuktikan kecintaan itu tak mungkin dihasilkan dari suatu kebohongan dan ketidakjujuran. Dan cinta selalu dibuktikan dengan pengorbanan. Demikianlah kita bisa memahami mengapa masyarakat Sunda begitu memimpikan munculnya kembali sosok Oto Iskandar di Nata (Otista), martir revolusi yang gugur di Mauk itu.

Ketika tampil di panggung volksraad, Otista bukanlah anggota yang ditunjuk Tuan Gubernur Jenderal. Ia anggota yang dipilih oleh dewan-dewan kota untuk mewakili Pasundan. Otista dinilai sebagai tokoh yang mengerti isi hati dan harapan urang Sunda dan kebetulan ia pituin Sunda kelahiran Bojongsoang. Karena itu ia bisa duduk di volksraad selama 10 tahun. Pada zaman pendudukan Jepang ia memimpin koran Tjahaja, satu-satunya koran di Bandung. Pada era kemerdekaan ia menjadi anggota PPKI dan BPUPKI, lalu menteri negara bidang pertahanan. Maka tak salah kalau kecintaan orang Sunda tamplok kepadanya. Ia telah berjuang dan berkorban.

Salah satu pendapat Otista yang sangat menarik ditelaah, diungkapkan oleh Barli Sasmitawinata dalam Nina H. Lubis (2003), "Saya ingin menyarankan (agar orang Sunda) menjadi bangsa yang jembar, luas pandangannya dan besar jasanya. Jangan dibatasi oleh (sekedar) totopong, tetapi (bagian dari) bangsa Indonesia yang bersedia bekerja sama dengan suku bangsa Indonesia lainnya untuk membangun Indonesia damai sejahtera."

Menurut alur pemikiran Otista, benda seperti totopong dan atribut sejenisnya, itu bukan jiwa Sunda melainkan ciri luar saja. Sunda bukanlah klaim atau cap yang sifatnya verbal dan artifisial belaka, melainkan kerja konkret yang dibangun dari wawasan yang luas dan selalu menjaga konsensus nasionalisme Indonesia. Gawe rahayu atau kerja nyata itu tidak berpijak pada atribut luar tetapi pada niat yang kuat dan bersih dari dalam hati.

Maka, kini pertanyaan penting dikembalikan kepada para pemimpin atau yang ingin jadi pemimpin Sunda, juga kepada tokoh atau yang merasa menjadi tokoh Sunda, sudahkah mereka memahami isi hati dan harapan orang Sunda itu? Banyak contoh dari tokoh-tokoh yang menjadi panineungan orang Sunda sepanjang sejarahnya. Dan bukan sesuatu yang nista jika kita bertanya kepada "orang lain", bagaimana sebenarnya cara memahami isi hati dan harapan serta keunikan masyarakat Sunda itu. Mari kita lihat buktinya. (Iip)***

Sumber:

www.pikiran-rakyat.com/cetak/2007/012007/08/wacana.htm

Perang Bubat dan Prabu Siliwangi

Artikel ini coba melihat Bubat dari sisi lain, yakni hikmah sejarah dari peristiwa Bubat, munculnya tokoh Siliwangi. Allah Anu Maha Ngersakeun, telah menganugerahkan Siliwangi kepada orang Sunda, sebagai pengganti dan pemimpin dari tewasnya Linggabuana dan Dyah Pitaloka.

Siapakah Prabu Siliwangi?

Dalam prasasti Batutulis, Prabu Surawisesa tidak menuliskan nama Siliwangi untuk ayahnya. Prasasti untuk mengabadikan jasa-jasa Sri Baduga Maharaja, itu dibuat tahun 1455 Saka atau 1533 M, dua belas tahun setelah ayahnya wafat. Dalam prasasti itu disebutkan, "Semoga selamat. Inilah tanda peringatan (bagi) prabu ratu almarhum. Dinobatkan dia dengan nama Prabu Guru Dewataprana, dinobatkan (lagi) dia dengan nama Sri Baduga! Maharaja Ratu Haji di Pakuan Pajajaran Sri Sang Ratu Dewata. Dialah yang membuat parit (pertahanan) Pakuan, dia putra Rahiyang Dewa Niskala yang mendiang di Gunatiga, cucu Rahiyang Niskala Wastu Kancana yang mendiang ke Nusalarang. yang membuat tanda peringatan (berupa) gunung-gunungan, membuat jalan-jalan yang diperkeras dengan batu, membuat (hutan) samida, membuat Sanghiyang Talaga Rena Mahawijaya. Ya dialah (yang membuatnya). (dibuat) dalam tahun Saka 1455".

Demikian pula dalam prasasti yang lain, nama Siliwangi tidak tertera. Fakta ini sempat membuat penasaran para sejarawan yang bertemu di Keraton Kasepuhan Cirebon tahun 1677 M. Sebagaimana diketahui, di keraton itu pernah diadakan gotrasawala sejarah, yang hasilnya kemudian dikenal sebagai naskah Wangsakerta. Mengenai naskah ini bisa dilihat dalam polemik di harian ini antara Edi S. Ekadjati (1) Persoalan Sekitar Hari Jadi Jawa Barat (2/2/ 2002), (2) Sekitar Naskah Pangeran Wangsakerta (19/2/2002), (3) Sekali Lagi Sekitar Naskah Wangsakerta (27/5/ 2002), dan Nina H. Lubis (1) Naskah "Wangsakerta" dan Hari Jadi Jawa Barat (20/1/2002), (2) Naskah Wangsakerta Sebagai Sumber Sejarah? (6-7/03/2002).

Karena menjadi pembicaraan luas pada gotrasawala itu, secara khusus Sultan Sepuh I menugaskan adiknya, Pangeran Wangsakerta, yang menjadi ketua panitia pertemuan, untuk meneliti lebih jauh mengenai tokoh tersebut. Terlepas dari sifat "kontroversi"-nya, naskah Wangsakerta memberikan gambaran cukup jelas mengenai tokoh Siliwangi.

Pangeran Wangsakerta mencatat, pertama, dalam Nusantara Parwa II Sarga 2 (1678 M), "Sesungguhnya tidak ada raja Sunda yang bernama Siliwangi, hanya penduduk Tanah Sunda yang menyebut Prabu Siliwangi."

Kedua, dalam Kretabhumi I/4 (1695: 47), "Hanya orang Sunda dan orang Cirebon serta semua penduduk Jawa Barat yang menyebut Prabu Siliwangi Raja Pajajaran. Jadi itu bukan pribadinya. Jadi, siapa namanya Raja Pajajaran ini?"

Ketiga, dalam naskah yang sama halaman 47-48, "Raja Pajajaran dinobatkan dengan nama Prabu Guru Dewataprana dan dinobatkan lagi dengan nama Sri Baduga Maharaja Ratu Haji di Pakuan Pajajaran Sri Sang Ratu Dewata."

Keempat, masih dalam Kretabhumi halaman 51, "Rahiang Dewa Niskala berputra Sri Baduga Maharaja Pajajaran yang menurut (oleh) orang Sunda disebut Prabu Siliwangi."

Dengan demikian, nama Siliwangi adalah julukan penduduk Sunda untuk Sri Baduga Maharaja (w. 1521). Nama ini sebenarnya sudah muncul ketika beliau masih hidup, sebagaimana termaktub dalam naskah Sanghyang Siksa Kandang Karesian (SSKK) yang ditulis tahun 1518 M. Dalam naskah itu disebutkan, "Bila ingin tahu tentang pantun, seperti Langgalarang, Banyakcatra, Siliwangi, Haturwangi; tanyalah juru pantun."

Siliwangi berarti silih-wangi, pengganti Prabu Wangi (Linggabuana) yang gugur tahun 1357 M bersama putrinya Dyah Pitaloka. Jayadewata (Manahrasa) dianggap memiliki keberanian seperti buyutnya itu. Karena itu, ia berhak menyandang gelar Sri Baduga Maharaja. Sementara dalam perilakunya, ia merepresentasikan pribadi, Wastukancana, kakeknya (w. 1475 M).

Jayadewata memang sangat layak dikenang segenap orang Sunda. Hingga sekarang kita bangga disebut sebagai seuweu-siwi Siliwangi. Keagungannya itu antara lain ditandai oleh kemampuannya menyatukan kembali kerajaan Sunda. Setelah Wastukancana wafat, kerajaan terbagi dua. Anak sulungnya, Susuktunggal (Sang Haliwungan), bertakhta di Pakuan (Bogor), sementara anaknya yang lain, Dewa Niskala (Ningrat Kancana), berkedudukan di Kawali (Ciamis).

Lalu datanglah cobaan besar pada tahun 1478 M, ketika Majapahit diserang Demak. Sejumlah pembesar dari timur melarikan diri ke arah barat, meminta suaka kepada penguasa Kawali. Di antara pengungsi itu terdapat Raden Baribin (putra Brawijaya IV) dan seorang "istri larangan" (gadis yang sudah bertunangan). Dalam hukum Sunda, perempuan seperti itu "haram" dinikahi kecuali tunangannya sudah meninggal atau pertunangannya dibatalkan. Namun Dewa Niskala tetap menikahi "istri larangan" itu dan Raden Baribin dijadikan menantunya, dinikahkan dengan Ratu Ayu Kirana.

Tindakan Dewa Niskala itu membuat keluarga keraton dan Susuktunggal marah. Mereka menganggapnya telah melanggar hukum yang berlaku dan "tabu kerajaan". Sebagaimana diketahui, setelah peristiwa Bubat, keluarga Keraton Kawali ditabukan menikah dengan keluarga dari Majapahit. Maka perbuatan Dewa Niskala dianggap sebagai pelanggaran yang tidak bisa dimaafkan. Di tengah suasana genting itulah, Jayadewata tampil sebagai penengah. Ia mewarisi kerajaan dari ayah dan mertuanya tahun 1482 M. Oleh karena itu, ia dinobatkan dua kali, di Kawali dan Pakuan, serta memperoleh dua gelar, Prabu Guru Dewataprana dan Sri Baduga Maharaja Ratu Haji di Pakuan Pajajaran Sri Sang Ratu Dewata.

Harta karun Siliwangi

Salah satu harta karun paling berharga dari Prabu Siliwangi ialah naskah bernama Sanghyang Siksa Kangda ng Karesian (SSKK). Naskah ini ditulis pada tahun 1518. Naskah ini secara jelas memaparkan apa yang harus dilakukan oleh pemimpin (menak) dan rakyat (somah), jika ingin meraih keunggulan. Menegaskan apa yang bisa membuat tugas hidup kita di dunia ini paripurna. Sayangnya, sampai sekarang belum ada kupasan optimal atas naskah ini setelah ditransliterasi oleh Atja dan Saleh Danasamita tahun 1981.

SSKK adalah penjelasan dari Amanat Galunggung/AG (+ 1419 M). AG ditulis sebagai nasihat Prabu Darmasiksa kepada putranya, Sang Lumahing Taman. Dalam AG tercatat bahwa nasihat-nasihat itu bersumber kepada tokoh nu nyusuk na Galunggung (yang membuat parit di Galunggung). Menurut prasasti Geger Hanjuang, pada tahun 1033 Saka atau 1111 M, Batari Hyang membuat parit pertahanan. Di rajyamandala (kerajaan bawahan) Galunggung. Tepatnya di Rumantak, Linggawangi (sekarang Leuwisari, Singaparna, Tasikmalaya). Tokoh Batari Hiyang inilah yang dianggap telah mengodifikasi petuah-petuah yang kelak menjadi AG dan SSKK.

Menurut Ayatrohaedi (2001), dalam bagian pertama naskah ini tercatat Dasakrjta sebagai pegangan orang banyak, dan bagian kedua disebut Darmapitutur berisi hal-hal berkenaan dengan pengetahuan yang seyogianya dimiliki oleh setiap orang agar dapat hidup berguna di dunia. Uraian naskah itu tampak didasarkan kehidupan sehari-hari dalam bermasyarakat dan bernegara. Atau dalam bahasa Atja dan Saleh Danasasmita (1981), naskah tersebut berisi aturan hidup warga negara (citizenship).

Substansi naskah itu masih sangat relevan untuk dikaji pada saat sekarang. Terutama ajaran tentang kejujuran dan keluhuran perilaku hidup lainnya. Naskah ini dibuka dengan anjuran menjaga sepuluh anggota tubuh (dasaindria) yang kita miliki, dari mata hingga kaki. Misalnya tangan, dianjurkan agar tidak sembarang mengambil segala sesuatu yang bukan haknya, karena akan menjadi pintu bencana dan kenistaan. Dalam konteks sekarang bisa dimaknai, jangan korupsi.

Demikian pula dengan dasapasanta yang menjelaskan sepuluh syarat jika seorang pemimpin ingin berwibawa di mata rakyatnya. Ditaati dan dijalankan perintah/instruksinya. Yaitu guna (bijaksana), rama (ramah), hook (proporsional, bukan like and dislike), pesok (membangkitkan semangat), asih (penuh kasih), karunya (pembagian tugas yang jelas), mupreruk (membujuk), ngulas (membangkitkan harga diri), nyecep (menumbuhkan percaya diri), dan ngala angen (mengambil hati).

Walhasil, sambil terus beradaptasi secara kritis dengan setiap perkembangan zaman, menjaga tradisi leluhur yang baik itu tetaplah penting dan relevan.(Iip D. Yahya)***

Sumber:

www.pikiran-rakyat.com/cetak/2005/0905/10/khazanah/lainnya01.htm