Rabu, 23 Januari 2008

Ajengan Santun itu Telah Berpulang

KH. Moh. Ilyas Ruhiat, pengasuh pesantren Cipasung Tasikmalaya, telah berpulang ke haribaan Ilahi, Selasa, 18 Desember 2007, jam 16.00 WIB. Ajengan Ilyas, demikian ia dikenal luas oleh publik, lahir 31 Januari 1934, sama dengan tanggal lahir Nahdlatul Ulama (NU). Ajengan yang dikenal sangat santun itu sejak beberapa tahun terakhir memang didera sakit, terutama setelah tidak lagi aktif pada organisasi yang dicintainya, NU. Ada dua hal yang sangat dicintai Ajengan Ilyas, pesantren dan NU. Oleh karena itu, istrinya, almarhumah Dedeh Fuadah, sering berseloroh bahwa dirinya hanyalah istri yang ketiga. Secara kebetulan, PBNU pada 2008 akan menyelenggarakan HUT-nya dengan tidak mengikuti penanggalan Hijriyah, tetapi masehi, yakni 31 Januari. Jadi, pada HUT NU yang rencananya akan diadakan besar-besaran itu, Ajengan Ilyas akan berusia 74 tahun, dan NU 82 tahun.
Ajengan Ilyas adalah pejuang yang sederhana. Ia bukan orator yang bisa membakar massa di podium. Ia bukan pula penulis yang piawai merangkai bunga-bunga kata. Ia berbicara secara bersahaja. Ia pun menulis dengan kalimat sederhana. Ia adalah guru yang ingin agar murid-muridnya mudah menangkap apa yang diterangkannya. Dengan ketulusan dan kesederhanaan itulah dia berjuang. Sebagai pengamal tasawuf, beliau sudah mencapai tingkat yang paling sulit, yakni sanggup untuk tidak berburuk sangka kepada orang lain dan selalu mampu mengendalikan emosi.
Ketika ia tampil sebagai pelaksana Rais Aam PBNU 1992 dan kemudian Rais Aam (1994), semua pihak dapat menerimanya. Sekalipun bukan ulama yang paling “pandai” di NU, tetapi tidak ada alasan untuk menolaknya. Hal itu karena Ajengan Ilyas memiliki kesederhanaan dan ketulusan. Ketika NU bersemangat untuk kembali ke khittah 1926, ulama seperti Ajengan Ilyas tampil ke muka, karena khittah itu menitikberatkan pendidikan dan dakwah. Tetapi ketika NU kembali ke ‘ranah politik’, kiai seperti beliau pun surut dan terpinggirkan, digantikan tokoh lain yang lebih sesuai dengan arus yang menguat di NU. Begitulah pasang-surut NU yang diikuti pula oleh naik-turunnya peran Ajengan Ilyas. Yang pasti, ia bukan sosok yang gila jabatan. Umpamanya seusai kampanye Pemilu 1971 dan ia terpilih sebagai anggota DPRD Jabar dari Partai NU, ia malah memberikan kursi dewan itu dengan “cuma-cuma” kepada orang lain. Ia lebih memilih mengikuti saran ayahnya agar konsentrasi mengajar di pesantren. “Kalau semua ke politik, siapa yang mengurus pengajian?”Amanat itu ia pegang sampai akhir hayatnya. Ia tak pernah meninggalkan Cipasung, sesibuk apa pun kegiatannya di luar mengajar santri.

Aktivis Sejati
Selain di NU, ia juga pernah menjadi salah seorang ketua MUI Pusat dan anggota DPA. Sebelumnya ia menjadi anggota MPR sebagai utusan dari Jawa Barat. Dalam setiap acara yang diikutinya, Ajengan Ilyas selalu datang tepat waktu dan pulang setelah acara ditutup. Hanya di Muktamar Lirboyo (1999) Ajengan Ilyas tidak mengikuti kegiatan sampai selesai. Dan sejak itu beliau mulai sering sakit-sakitan.
Aktifitas Ajengan Ilyas di pesantren dimulai sejak usia 15 tahun. Saat itu ia harus menggantikan ayahnya yang dipenjara di Sukamiskin pada masa agresi Belanda II. Bersama kakak iparnya, Saeful Millah, Ilyas muda mulai mengajar santri. Sebelumnya ia belajar langsung kepada sang ayah. Dengan kegiatan mengajar ini, praktis kesempatan Ilyas untuk belajar keluar pesantren menjadi hilang. Sampai ayahnya wafat pada 1977, Ilyas hanya belajar di Cipasung. Kesempatan belajar di luar pesantren ia dapatkan melalui sejumlah kursus, kuliah jarak jauh, otodidak, dan mengikuti berbagai forum ilmiah.
Setelah menikah pada 1956, kehidupan Ilyas sepenuhnya dibaktikan untuk pesantren. Sementara di NU ia mulai aktif melalui Ikatan Pelajar NU (IPNU) pada 1954. Sekalipun hanya tinggal di Cipasung, jadwal kegiatan Ilyas sangat padat. Ia mulai mengajar bakda subuh, jam 05.00 - 06.30. Lalu mengajar di SMPI dan SMAI dari jam 07.00 – 13.00. Usai makan siang dan istirahat sebentar, jam 13.30 tukang becak langganannya sudah menanti di depan rumah. Ia mendatangi jamaah pengajian di beberapa kampung yang dilakoninya dari jam 14.00 – 16.00. Untuk kampung yang lebih jauh ia naik delman. Sepulang dari pengajian keliling, ia sudah ditunggu santri pengajian kitab Jauhar Maknun dan Uqudul Juman yang ia ampu sampai jam 17.30. Setelah magrib ia kembali mengajar kitab-kitab tafsir al- Jalalain, hadits Bukhari-Muslim, dan Fathul Mu’in. Pengajian malam baru berakhir pada jam 23.00. Tak jarang pada pengajian kitab yang terakhir, yang menyimaknya tinggal seorang santri, tetapi gairah Ilyas mengajar tidak turun sama sekali. Ia tetap mengajar dengan sungguh-sungguh dan telaten. Pada malam Kamis, jadwalnya bisa lebih larut lagi, karena ia selalu menunggu sampai bubar acara Kuliyyatul Muballigin wal Muasyawirin, satu program pelatihan berpidato bagi santri dengan tema-tema yang telah ditentukan, dan diskusi persoalan-persoalan hukum Islam.
Setelah mulai banyak keluar pesantren, untuk kegiatan NU atau MUI, kepadatan jadwalnya tidak berkurang hanya berganti acara saja. Namun, sesibuk apa pun, ia tak pernah meninggalkan pengajian untuk para ulama setiap hari Kamis. Kalau ada acara di luar kota yang cukup lama, ia akan pulang dulu ke Cipasung untuk memberikan pengajian Kemisan, lalu kembali lagi hingga acara tuntas. Ia memang seorang aktivis sejati.

Kiblat Pesantren
Bagi pesantren di Jawa Barat, Cipasung adalah salah satu kiblat pendidikan. Sejak didirikan pada 1931 oleh Ajengan Ruhiat, Cipasung secara tegas menggunakan sistem ngalogat Sunda. Pengajian untuk santri, baik dalam membacakan makna kata per kata dalam kitab berbahasa Arab maupun dalam penjelasannya, menggunakan bahasa Sunda. Pada saat itu, hampir semua pesantren di tatar Priangan menggunakan bahasa Jawa. Pola ini memperkuat rintisan yang sudah dimulai oleh Ajengan Sobandi Cilenga Singaparna. Di Cipasung, ngalogat Sunda itu kemudian menjadi ciri yang mandiri selain afiliasi kepada Nahdlatul Ulama (NU). Alumni Cipasung bisa dipastikan memiliki dua ciri itu: ngalogat Sunda dan NU. Maka, tidak mengherankan kalau Cipasung menjadi basis pendukung NU hingga sekarang. Memang, ada pula alumni Cipasung yang tidak berafilisasi ke NU, tetapi jumlahnya sangat sedikit.
Kemudian setelah proklamasi kemerdekaan RI, Cipasung menjadi perintis pendidikan formal. Mulai dari Sekolah Pendidikan Islam (1949) hingga Pendidikan Tinggi Islam (1965). Dan kini berkembang dari TK hingga perguruan tinggi dengan berbagai disiplin. Yang menarik, Ajengan Ilyas terlibat sebagai pendiri hampir dalam semua lembaga pendidikan formal itu. Padahal, ia hanya sekolah formal sampai kelas 3 HIS. Ia pernah lama menjadi kepala SMA, juga kepala MAN Cipasung. Sebelum sakit yang menghambatnya beraktifitas, ia adalah Rektor Institut Agama Islam Cipasung.
Ada satu hal yang unik dari keluarga Ajengan Ilyas, bahwa mereka adalah keluarga PNS. Diawali istrinya menjadi PNS Depag dengan NIP 150127551 yang ditempatkan di MI Cipasung sejak tahun 1968 dan pensiun1993 dengan golongan jabatan terakhir II/c. Lalu Ajengan Ilyas menjadi PNS sejak tahun 1972 dengan NIP 150170390 dan pensiun dengan golongan jabatan Penata Muda III/a tahun 1994. Neng Ida dan Enung keduanya juga PNS yang ditugaskan di MAN Cipasung. Sedangkan Acep Zamzam Noor menjadi Presiden PNS, tetapi bukan Pegawai Negeri Sipil, melainkan Partai Nurul Sembako, suatu gerakan massa yang banyak mengkritik perilaku para birokrat alias para PNS. Jadi lengkaplah kolaborasi PNS di keluarga Ajengan Ilyas, ada yang berusaha membuktikan bahwa PNS itu bisa bekerja dengan baik dan jujur, ada pula yang giat membongkar kebobrokan para PNS agar tidak berlaku koruptif dan manipulatif.
Ajengan Ilyas telah menunaikan tugasnya secar paripurna. Ia telah menjadi suami yang baik buat istrinya. Ia telah menjadi ayah teladan yang telah mendidik dan mengantarkan ketiga anaknya --Acep Zamzam Noor, Ida Nurhalida, Enung Nursaidah Rahayu-- hingga mandiri dan mengabdi di tengah masyarakat sesuai keahliannya. Ia pengasuh pesantren yang telah membawa Cipasung hingga dikenal masyarakat luas, di dalam dan luar negeri. Ia adalah Rais Aam NU yang berhasil menjaga “kapal” NU pada prahara politik sebelum reformasi, dan ikut mengantarkan putra terbaik NU sebagai presiden RI ke-4. Ia telah menjalankan tugas kemanusiaannya secara sempurna. Kini, nama baik Ajengan Ilyas akan dipertahankan oleh anak cucunya. Kebesaran pesantren Cipasung akan dijaga dan dikembangkan oleh keluarga Bani Ruhiat seluruhnya. Dan jejaknya pada NU mudah-mudahan akan diteruskan oleh para pengurus Ormas terbesar ini.
Selamat jalan, Ajengan, semoga kami dapat meneruskan perjuanganmu, dalam ketulusan dan kesederhanaan. (Iip)***

Versi ringkas dimuat Pikiran Rakyat, Rabu, 19 Desember 2007

Tidak ada komentar: