Jumat, 18 Januari 2008

Keunikan Orang Sunda

ORANG Sunda itu unik. Mereka menerima pluralitas dan sangat terbuka. Orang Sunda termasuk masyarakat yang selalu siap menerima perubahan konstruktif. Jika demi kemajuan, tanpa ragu mereka akan melaksanakannya dengan disiplin. Ketika pemerintah Hindia Belanda pada pertengahan abad XIX menetapkan aksara Walanda (Latin) sebagai pengganti huruf Arab, masyarakat menerimanya tanpa protes yang berarti (Mikihiro Moriyama, 2005).

Dengan aksara itulah orang Sunda sekarang mengekspresikan olah pikirnya. Di luar itu komunitas pesantren sampai kini tetap mempertahankan huruf Arab dalam tradisi ngalogat-nya. Sementara upaya menghidupkan kembali aksara kaganga yang dianggap sebagai asli Sunda, melalui perangkat Perda Pemda Jabar, hingga kini justru belum menampakkan hasil memuaskan.

Di masa revolusi, ketika orang Sunda bersepakat untuk mendukung kemerdekaan, mereka paling depan membela nasionalisme Indonesia. Di bawah panji Siliwangi, mereka membakar Kota Bandung dan hijrah ke Yogyakarta, demi mempertahankan harga diri dan eksistensi negara baru Indonesia. Mereka lalu menghentikan upaya kudeta Muso di Madiun dan menaklukkan kegigihan Kahar Muzakkar di Sulawesi Selatan.

Ketika Kartosuwiryo mengobarkan perlawanan kepada NKRI, tanpa mendatangkan pasukan bantuan dari luar territorialnya, dengan pagar betis masyarakat, perlawanan DI/TII dapat dipatahkan. Tahun 1955, ketika kondisi masih sangat memprihatinkan, warga Bandung sukses menjadi tuan rumah Konferensi Asia Afrika. Itulah sebagian bukti kemampuan untuk berdisiplinan, kegigihan berjuang, dan kepercayaan diri yang sangat kuat dari masyarakat Sunda.

Pada era Orde Lama, orang Sunda banyak yang mendukung PNI. Ketika Orde Baru mereka banyak yang mendukung Golkar bahkan hingga sekarang. Saat reformasi bergulir, wacana partai lokal yang digagas akan dan bisa lebih nyunda, ternyata tinggal sekadar wacana. Jika dilihat dari fenomena partai politik itu, orang Sunda jelas-jelas selalu menolak hal-hal yang bersifat eksklusif.

Satu hal yang menarik dicatat, masyarakat Sunda ternyata tidak begitu memasalahkan dari mana asal pemimpinnya. Mereka menerima Dewawarman yang datang dari India sebagai raja pertama Salakanagara hingga Soekarno sebagai Presiden Indonesia pertama yang kelahiran Blora. Pituin atau bukan pituin Sunda. Asli atau pendatang.

Siapa pun, asal mengerti isi hati dan harapan massa Sunda, ia akan diterima. Nasution atau Kawilarang bisa memimpin Divisi Siliwangi. Soekarno bisa diterima massa 'marhaen'. Kartosuwiryo dapat memukau massa 'Islam'. Begitu pula Daeng Kanduruan Ardiwinata bisa menjadi Hoofd Bestuur Paguyuban Pasundan yang pertama. Soeharto, Habibie, Gus Dur, Megawati, dan SBY, masing-masing punya massa fanatiknya di kalangan orang Sunda.

Jadi bukanlah sesuatu yang aneh jika anggota DPRD Jawa Barat berasal dari berbagai etnik, sebab mereka pada realitasnya dianggap lebih mewakili isi hati dan harapan orang Sunda. Lalu mengapa yang terpilih bukan orang Sunda 'asli'? Kalau mau jujur melihat hasil Pemilu, tentu karena yang "asli" itu dianggap tidak atau kurang mewakili isi hati dan harapan orang Sunda sendiri. Siapapun, asal setia pada kepentingan massa Sunda, mereka akan berdisiplin mendukung kepemimpinannya.

Dalam dunia intelektual dan akademik juga berlaku hal seperti itu. Rektor perguruan tinggi di Bandung bisa datang dari etnik mana saja asal mumpuni dan diterima civitas academic-nya. Orang seperti almarhum Doddy Tisna Amidjaja saat menjadi Rektor ITB, pertama-tama karena ia mumpuni. Bahwa ia tokoh Sunda, hal itu menjadi nilai lebihnya. Buktinya, sebagai tanda cintanya kepada Sunda, ia mewakafkan warisan intelektualnya sebagai perpustakaan, salah satu di antara sedikit perpustakaan mengenai kesundaan di Bandung.

Sekarang setelah dunia ilmu sejarah Sunda kehilangan pakar sekelas Edi S. Ekadjati, banyak yang berpaling kepada Mikihiro Moriyama, intelektual dari Jepang. Sampai saat ini, sudah ada dua jurnal ilmiah dari dua perguruan tinggi ternama di Bandung, meminta Moriyama untuk menggantikan posisi almarhum Ekadjati sebagai redaktur ahli. Dan permintaan yang sejenis masih mengantre menunggu persetujuan. Bagi yang mengenal Moriyama, tak syak lagi akan menyebutnya sebagai orang yang sangat nyunda.

Maka kecintaan kepada Sunda itu bisa datang dari mana saja dan tidak mungkin dibendung. Begitu pula kemampuan untuk membuktikan kecintaan itu tak mungkin dihasilkan dari suatu kebohongan dan ketidakjujuran. Dan cinta selalu dibuktikan dengan pengorbanan. Demikianlah kita bisa memahami mengapa masyarakat Sunda begitu memimpikan munculnya kembali sosok Oto Iskandar di Nata (Otista), martir revolusi yang gugur di Mauk itu.

Ketika tampil di panggung volksraad, Otista bukanlah anggota yang ditunjuk Tuan Gubernur Jenderal. Ia anggota yang dipilih oleh dewan-dewan kota untuk mewakili Pasundan. Otista dinilai sebagai tokoh yang mengerti isi hati dan harapan urang Sunda dan kebetulan ia pituin Sunda kelahiran Bojongsoang. Karena itu ia bisa duduk di volksraad selama 10 tahun. Pada zaman pendudukan Jepang ia memimpin koran Tjahaja, satu-satunya koran di Bandung. Pada era kemerdekaan ia menjadi anggota PPKI dan BPUPKI, lalu menteri negara bidang pertahanan. Maka tak salah kalau kecintaan orang Sunda tamplok kepadanya. Ia telah berjuang dan berkorban.

Salah satu pendapat Otista yang sangat menarik ditelaah, diungkapkan oleh Barli Sasmitawinata dalam Nina H. Lubis (2003), "Saya ingin menyarankan (agar orang Sunda) menjadi bangsa yang jembar, luas pandangannya dan besar jasanya. Jangan dibatasi oleh (sekedar) totopong, tetapi (bagian dari) bangsa Indonesia yang bersedia bekerja sama dengan suku bangsa Indonesia lainnya untuk membangun Indonesia damai sejahtera."

Menurut alur pemikiran Otista, benda seperti totopong dan atribut sejenisnya, itu bukan jiwa Sunda melainkan ciri luar saja. Sunda bukanlah klaim atau cap yang sifatnya verbal dan artifisial belaka, melainkan kerja konkret yang dibangun dari wawasan yang luas dan selalu menjaga konsensus nasionalisme Indonesia. Gawe rahayu atau kerja nyata itu tidak berpijak pada atribut luar tetapi pada niat yang kuat dan bersih dari dalam hati.

Maka, kini pertanyaan penting dikembalikan kepada para pemimpin atau yang ingin jadi pemimpin Sunda, juga kepada tokoh atau yang merasa menjadi tokoh Sunda, sudahkah mereka memahami isi hati dan harapan orang Sunda itu? Banyak contoh dari tokoh-tokoh yang menjadi panineungan orang Sunda sepanjang sejarahnya. Dan bukan sesuatu yang nista jika kita bertanya kepada "orang lain", bagaimana sebenarnya cara memahami isi hati dan harapan serta keunikan masyarakat Sunda itu. Mari kita lihat buktinya. (Iip)***

Sumber:

www.pikiran-rakyat.com/cetak/2007/012007/08/wacana.htm

2 komentar:

Dildaar Ahmad Dartono mengatakan...

salaam.. rahayu.. sunda bageur.. ti abdi urang jawa.

fella, yes, fella mengatakan...

saya kagum sama orang sunda yang begitu, tapi yang saya pingin tau, benar ga sih orang sunda itu memiliki kecenderungan terhadap hal yang berbau pornografi?
Saya dengar dari salah satu orang di tv, dan sejak itu saya penasaran ._.